Simalakama Rupiah Jeblok
JAKARTA, KOMPAS.com – Nilai tukar rupiah yang jeblok memang bagaikan
buah simalakama bagi investor. Bagi eksportir tentu saja makin untung,
tapi importir malah buntung. Sepanjang 2012, Bank Indonesia (BI)
mencatat nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,91 persen (yoy) ke
level Rp 9.638 per dollar AS. Namun secara year to date hingga akhir
pekan ini, rupiah hanya terdepresiasi 0,2 persen ke level Rp 9.660 per
dollar AS.
Global Head of Forex Research Standard Chartered Bank Callum
Henderson memproyeksikan bahwa kemungkinan rupiah juga bakal menembus
level Rp 10.000 per dollar AS di semester I-2013 ini. Hal ini
mengantisipasi nilai neraca perdagangan Indonesia yang makin defisit.
Jika benar demikian, maka rupiah akan terus terdepresiasi semakin dalam.
Hal ini bisa jadi ancaman, namun bisa juga sekaligus menjadi peluang
bagi investor.
Menurut Callum, defisit neraca perdagangan Indonesia pada akhir tahun
2012 (khususnya November 2012) merupakan yang tertinggi di dunia. Hal
ini yang menyebabkan rupiah terus terpuruk terhadap nilai tukar mata
uang asing, khususnya dollar AS. Namun, menurut Callum, neraca
perdagangan yang defisit tersebut bukan terlalu menjadi masalah bagi
Indonesia. Sebab, defisitnya tercipta dari penurunan ekspor Indonesia.
Terlebih lagi, 65 persen ekspor Indonesia merupakan ekspor komoditas
yang mayoritas harganya anjlok di dunia.
“Ini masalah siklikal (terkait siklus) saja. Lambat laun, harga
komoditas akan membaik, ekspor juga membaik, dan neraca perdagangan juga
akan surplus. Imbasnya rupiah juga akan menguat,” kata Callum.
Sehingga ia memprediksi rupiah akan kembali menguat di level Rp 9.500
per dollar AS di pertengahan tahun hingga akhir tahun 2013.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Chatib Basri menilai,
pelemahan nilai tukar rupiah ini jangan dianggap sebagai sesuatu yang
mengkhawatirkan. “Sebab, ini jadi potensial keuntungan bagi importir.
Ini juga bisa mendorong impor produk-produk tertentu yang dibutuhkan
negeri ini,” katanya.
Menurut Chatib, dari kacamata investor tentu saja pelemahan rupiah
ini akan menjadi peluang karena dapat membantu mereka untuk kebutuhan
repatriasi. “Jadi rupiah ini tidak selalu mengkhawatirkan. Saya
optimis, likuiditas di pasar masih sangat deras,” katanya.
Hal ini dibuktikan karena perekonomian Indonesia saat ini
mengontribusikan 48 persen perekonomian di ASEAN. Dalam soal populasi,
penduduk Indonesia juga sudah mencapai 42 persen dari populasi penduduk
ASEAN. Dengan kondisi tersebut, maka pasar Indonesia sangat menjanjikan,
baik mencukupi kebutuhan pasar domestik sendiri, maupun pasar bagi
asing untuk masuk ke Indonesia.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan juga menjelaskan hal senada.
Pelemahan nilai tukar rupiah ini juga meningkatkan impor di Tanah Air.
“Sepanjang 2012, impor bahan baku untuk bahan modal naik 10-12 persen.
Ini akan terus terjadi di 2013 ini,” kata Gita.
Memang kondisi penguatan impor dibanding ekspor ini justru akan
menekan neraca perdagangan di Tanah Air. Tapi menurut Gita, hal itu
bukan menjadi penyebab rupiah terdepresiasi. “Rupiah anjlok itu dipicu
oleh sentimen negatif dari kebijakan pemerintah, sentimen politik dan
isu soal tenaga kerja. Ini yang sedikit memengaruhi pandangan dunia dan
menyebabkan rupiah melemah,” kata Gita.
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution memiliki pandangan berbeda.
Menurut dia, rupiah terdepresiasi karena terkait dengan memburuknya
kondisi perekonomian global, khususnya di kawasan Eropa, yang berdampak
pada penurunan arus masuk portfolio asing ke Indonesia.
Menurut Darmin, dari sisi domestik, tekanan rupiah berasal dari
tingginya permintaan valas untuk keperluan impor di tengah perlambatan
kinerja ekspor. Nilai tukar rupiah kembali bergerak stabil pada kuartal
IV-2012 seiring dengan peningkatan arus masuk modal asing yang cukup
besar, baik dalam bentuk arus masuk modal portofolio maupun investasi
langsung.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar
rupiah sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian. Pihak Bank
Indonesia akan terus melakukan intervensi, khususnya saat kurs rupiah
sudah menembus level nilai wajarnya.
“Memang neraca perdagangan kita sedang disoroti pemain pasar. Tapi ya
begitulah, ada yang ambil untung, ada yang menganggap ini hanya
sementara. Jadi ya macam-macam ya investornya,” kata Darmin.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa
mengatakan, pergerakan nilai tukar rupiah saat ini dinilai tidak wajar.
Pergerakan tersebut sudah di atas rata-rata prediksi analis pasar.
Menurut dia, dibandingkan dengan mata uang lain, secara nominal nilai
tukar rupiah lebih lemah 5 persen dari rata-rata tahun 2010. Pada tahun
2011, rupiah juga terus melemah dan terus dilanjutkan pada 2012, yang
masih juga dipengaruhi kondisi global. Namun, jika nilai tukar rupiah
selalu di atas Rp 9.500 per dollar AS, nilai tukar tersebut sudah
dianggap tinggi.
“Padahal, nilai wajarnya (fair value) sekitar Rp 9.300 per dollar AS,” kata Purbaya.
Saat ini, nilai tukar rupiah diperkirakan sudah berada di bawah
perkiraan rata-rata (undervalue) sebesar 4-5 persen. Namun, masih ada
peluang bagi rupiah untuk menguat dalam waktu dekat. Kondisi pelemahan
nilai tukar rupiah saat ini, kata Purbaya, dipengaruhi sentimen negatif
memburuknya neraca pembayaran, khususnya neraca berjalan atau current
account akibat pelambatan ekspor. Adapun impor masih bertumbuh cukup
pesat.
Hal lain yang turut memengaruhi kondisi tersebut adalah
ketidakpastian penyelesaian krisis utang Eropa sehingga masih ada
investor yang melakukan safe haven. Demikian pula intervensi kurang
memadai dari Bank Indonesia yang berbeda dari Agustus-September 2011.
“Sementara likuiditas dollar AS juga terbatas akibat tidak
terbatasnya repatriasi ekspor serta terbatasnya instrumen penempatan
dana valas di dalam negeri,” kata Purbaya.
Jadi, tergantung pelaku pasar. Pelemahan rupiah ini mau dijadikan ancaman atau malah dijadikan peluang?
Sumber : http://m.kompas.com/news/read/2013/01/12/12315797/Simalakama.Rupiah.Jeblok–bisniskeuangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar