Simalakama Rupiah Jeblok
JAKARTA, KOMPAS.com – Nilai tukar rupiah yang jeblok memang bagaikan
buah simalakama bagi investor. Bagi eksportir tentu saja makin untung,
tapi importir malah buntung. Sepanjang 2012, Bank Indonesia (BI)
mencatat nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,91 persen (yoy) ke
level Rp 9.638 per dollar AS. Namun secara year to date hingga akhir
pekan ini, rupiah hanya terdepresiasi 0,2 persen ke level Rp 9.660 per
dollar AS.
Global Head of Forex Research Standard Chartered Bank Callum
Henderson memproyeksikan bahwa kemungkinan rupiah juga bakal menembus
level Rp 10.000 per dollar AS di semester I-2013 ini. Hal ini
mengantisipasi nilai neraca perdagangan Indonesia yang makin defisit.
Jika benar demikian, maka rupiah akan terus terdepresiasi semakin dalam.
Hal ini bisa jadi ancaman, namun bisa juga sekaligus menjadi peluang
bagi investor.
Menurut Callum, defisit neraca perdagangan Indonesia pada akhir tahun
2012 (khususnya November 2012) merupakan yang tertinggi di dunia. Hal
ini yang menyebabkan rupiah terus terpuruk terhadap nilai tukar mata
uang asing, khususnya dollar AS. Namun, menurut Callum, neraca
perdagangan yang defisit tersebut bukan terlalu menjadi masalah bagi
Indonesia. Sebab, defisitnya tercipta dari penurunan ekspor Indonesia.
Terlebih lagi, 65 persen ekspor Indonesia merupakan ekspor komoditas
yang mayoritas harganya anjlok di dunia.
“Ini masalah siklikal (terkait siklus) saja. Lambat laun, harga
komoditas akan membaik, ekspor juga membaik, dan neraca perdagangan juga
akan surplus. Imbasnya rupiah juga akan menguat,” kata Callum.
Sehingga ia memprediksi rupiah akan kembali menguat di level Rp 9.500
per dollar AS di pertengahan tahun hingga akhir tahun 2013.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Chatib Basri menilai,
pelemahan nilai tukar rupiah ini jangan dianggap sebagai sesuatu yang
mengkhawatirkan. “Sebab, ini jadi potensial keuntungan bagi importir.
Ini juga bisa mendorong impor produk-produk tertentu yang dibutuhkan
negeri ini,” katanya.
Menurut Chatib, dari kacamata investor tentu saja pelemahan rupiah
ini akan menjadi peluang karena dapat membantu mereka untuk kebutuhan
repatriasi. “Jadi rupiah ini tidak selalu mengkhawatirkan. Saya
optimis, likuiditas di pasar masih sangat deras,” katanya.
Hal ini dibuktikan karena perekonomian Indonesia saat ini
mengontribusikan 48 persen perekonomian di ASEAN. Dalam soal populasi,
penduduk Indonesia juga sudah mencapai 42 persen dari populasi penduduk
ASEAN. Dengan kondisi tersebut, maka pasar Indonesia sangat menjanjikan,
baik mencukupi kebutuhan pasar domestik sendiri, maupun pasar bagi
asing untuk masuk ke Indonesia.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan juga menjelaskan hal senada.
Pelemahan nilai tukar rupiah ini juga meningkatkan impor di Tanah Air.
“Sepanjang 2012, impor bahan baku untuk bahan modal naik 10-12 persen.
Ini akan terus terjadi di 2013 ini,” kata Gita.
Memang kondisi penguatan impor dibanding ekspor ini justru akan
menekan neraca perdagangan di Tanah Air. Tapi menurut Gita, hal itu
bukan menjadi penyebab rupiah terdepresiasi. “Rupiah anjlok itu dipicu
oleh sentimen negatif dari kebijakan pemerintah, sentimen politik dan
isu soal tenaga kerja. Ini yang sedikit memengaruhi pandangan dunia dan
menyebabkan rupiah melemah,” kata Gita.
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution memiliki pandangan berbeda.
Menurut dia, rupiah terdepresiasi karena terkait dengan memburuknya
kondisi perekonomian global, khususnya di kawasan Eropa, yang berdampak
pada penurunan arus masuk portfolio asing ke Indonesia.
Menurut Darmin, dari sisi domestik, tekanan rupiah berasal dari
tingginya permintaan valas untuk keperluan impor di tengah perlambatan
kinerja ekspor. Nilai tukar rupiah kembali bergerak stabil pada kuartal
IV-2012 seiring dengan peningkatan arus masuk modal asing yang cukup
besar, baik dalam bentuk arus masuk modal portofolio maupun investasi
langsung.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar
rupiah sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian. Pihak Bank
Indonesia akan terus melakukan intervensi, khususnya saat kurs rupiah
sudah menembus level nilai wajarnya.
“Memang neraca perdagangan kita sedang disoroti pemain pasar. Tapi ya
begitulah, ada yang ambil untung, ada yang menganggap ini hanya
sementara. Jadi ya macam-macam ya investornya,” kata Darmin.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa
mengatakan, pergerakan nilai tukar rupiah saat ini dinilai tidak wajar.
Pergerakan tersebut sudah di atas rata-rata prediksi analis pasar.
Menurut dia, dibandingkan dengan mata uang lain, secara nominal nilai
tukar rupiah lebih lemah 5 persen dari rata-rata tahun 2010. Pada tahun
2011, rupiah juga terus melemah dan terus dilanjutkan pada 2012, yang
masih juga dipengaruhi kondisi global. Namun, jika nilai tukar rupiah
selalu di atas Rp 9.500 per dollar AS, nilai tukar tersebut sudah
dianggap tinggi.
“Padahal, nilai wajarnya (fair value) sekitar Rp 9.300 per dollar AS,” kata Purbaya.
Saat ini, nilai tukar rupiah diperkirakan sudah berada di bawah
perkiraan rata-rata (undervalue) sebesar 4-5 persen. Namun, masih ada
peluang bagi rupiah untuk menguat dalam waktu dekat. Kondisi pelemahan
nilai tukar rupiah saat ini, kata Purbaya, dipengaruhi sentimen negatif
memburuknya neraca pembayaran, khususnya neraca berjalan atau current
account akibat pelambatan ekspor. Adapun impor masih bertumbuh cukup
pesat.
Hal lain yang turut memengaruhi kondisi tersebut adalah
ketidakpastian penyelesaian krisis utang Eropa sehingga masih ada
investor yang melakukan safe haven. Demikian pula intervensi kurang
memadai dari Bank Indonesia yang berbeda dari Agustus-September 2011.
“Sementara likuiditas dollar AS juga terbatas akibat tidak
terbatasnya repatriasi ekspor serta terbatasnya instrumen penempatan
dana valas di dalam negeri,” kata Purbaya.
Jadi, tergantung pelaku pasar. Pelemahan rupiah ini mau dijadikan ancaman atau malah dijadikan peluang?
Sumber : http://m.kompas.com/news/read/2013/01/12/12315797/Simalakama.Rupiah.Jeblok–bisniskeuangan
Senin, 21 Januari 2013
Jumat, 11 Januari 2013
5 Kasus dari Penyimpangan Etika Akuntansi
5 Kasus dari
Penyimpangan Etika Akuntansi
1.
Kasus
Pelanggaran Kode Etik Akuntan :
Beberapa kasus yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia,
salah satunya adalah laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun 2002.Kasus
Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh
Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing berbeda. Laporan
yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau diiklankan melalui
media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002,
dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan publik, dalam hal ini kantor
akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih
dan disampaikan kepada manajemen Bank Lippo pada 6 Januari 2003. Dari ketiga
versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar telah diaudit dan mencantumkan
”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan yang disampaikan pada 6 Januari
2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya penurunan AYDA (agunan yang
diambil alih) sebesar Rp 1,42 triliun, total aktiva Rp 22,8 triliun, rugi
bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23 %. Untuk laporan keuangan
yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata terdapat kelalaian manajemen
dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan tersebut belum diaudit, dimana
angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah AYDA sebesar Rp 2,933 triliun,
aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR
24,77 %. Karena itu BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda kepada jajaran direksi PT
Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar, karena pencantuman kata ”diaudit” dan
”opini wajar tanpa pengecualian” di laporan keuangan 30 September 2002 yang
dipublikasikan pada 28 Nopember 2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar
Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner kantor akuntan publik (KAP)
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan penyampaian informasi
penting mengenai penurunan AYDA Bank Lippo selama 35 hari. Kasus-kasus skandal
diatas menyebabkan profesi akuntan beberapa tahun terakhir telah mengalami
krisis kepercayaan. Hal itu mempertegas perlunya kepekaan profesi akuntan
terhadap etika. Jones, et al. (2003) lebih memilih pendekatan individu terhadap
kepedulian etika yang berbeda dengan pendekatan aturan seperti yang berdasarkan
pada Sarbanes Oxley Act. Mastracchio (2005) menekankan bahwa kepedulian
terhadap etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa
akuntansi masuk di dunia profesi akuntansi.
Analisis : Dari kedua kasus di atas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa dalam profesi akuntan terdapat masalah yang cukup pelik di
mana di satu sisi para akuntan harus menunjukkan independensinya sebagai
auditor dengan menyampaikan hasil audit ke masyarakat secara obyektif, tetapi
di sisi lain mereka dipekerjakan dan dibayar oleh perusahaan yang tentunya
memiliki kepentingan tersendiri.
2. Kasus
KPMG-Siddharta & Harsono :
September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono
harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok
aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan
faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT
Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa
New York. Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang
susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun,
Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya.
Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka
rela kasus ini dan memecat eksekutifnya. Badan
pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya
dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat
perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG
terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus
ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun terselamatan.
Analisis : Pada
kasus tersebut prinsip etika profesi yang dilanggar adalah tanggung jawab
prolesi, dimana seharusnya melakukan pertanggung jawaban sebagai profesional
yang senantiatasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam setiap
kegiatan yang dilakukannya. Selain itu seharusnya tidak melanggar prinsip etika
profesi yang kedua,yaitu kepentingan publik, yaitu dengan cara menghormati
kepercayaan publik. Kemudian tetap memelihara dan meningkatkan kepercayaan
publik sesuai dengan prinsip integritas. Seharusnya tidak melanggar juga
prinsip obyektivitas yaitu dimana setiap anggota harus menjaga
obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
3. Kasus
KAP Andersen dan Enron
Kasus
KAP Andersen dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan
pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu terungkap, terdapat hutang perusahaan
yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan
berkurang dalam jumlah yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP
Andersen mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi
laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana
sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan yang
bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $ 393,
padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $ 644 juta
yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang
didirikan oleh Enron.
Analisis
: Contoh kasus yang terjadi pada KAP Andersen dan Enron adalah sebuah
pelanggaran etika profesi akuntansi dan prinsip etika profesi, yaitu berupa
pelanggaran tanggung jawab –yang salah satunya adalah memelihara kepercayaan
masyarakat terhadap jasa profesional seorang akuntan. Pelanggaran prinsip kedua
yaitu kepentingan publik,pada kasus KAP Andersen dan Enron tersebut kurang
dipegang teguhnya kepercayaan masyarakat, dan tanggung jawab yang tidak
semata-mata hanya untuk kepentingan kliennya tetapi juga menitikberatkan pada
kepentingan public. Jadi seharusnya KAP Andersen dalam melakukan tugasnya
sebagai akuntan harus melakukan tindakan berdasarkan etika profesi akuntansi
dan prinsip etika profesi.
4.
Kasus Sembilan KAP yang diduga
melakukan kolusi dengan kliennya
Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW)
meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang
berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga
telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun
1995-1997. Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis,
mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang
melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak melakukan
pemeriksaan sesuai dengan standar audit. Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan
kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut
termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah
sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H
& R, JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R.
“Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi.
Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk
memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu
kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan
kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak
kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan. ICW menduga,
hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam
penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada
berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan
rekayasa akuntansi. Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak
melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan
laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos
laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami
mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga
menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi
laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini
merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari
Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,”
tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP
tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus
meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode
etik profesi akuntan.
Analisis : Pada kasus tersebut
prinsip etika profesi yang dilanggar adalah tanggung jawab prolesi, dimana
seharusnya melakukan pertanggung jawaban sebagai profesional yang senantiatasa
menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam setiap kegiatan yang
dilakukannya. Selain itu seharusnya tidak melanggar prinsip etika profesi yang
kedua,yaitu kepentingan publik, yaitu dengan cara menghormati kepercayaan
publik. Kemudian tetap memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik sesuai
dengan prinsip integritas. Seharusnya tidak melanggar juga prinsip obyektivitas
yaitu dimana setiap anggota harus
menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan
kewajiban profesionalnya, dan melanggar prinsip kedelapan yaitu standar teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar
teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan
dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan
dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas
dan obyektivitas.
5.
Kasus Bank Mutiara terhadap Nasabah
Bank
Mutiara tidak akan membayar sepeserpun kepada 27 nasabah yang menggugat melalui
Pengadilan Negeri Surakarta ataupun nasabah lainnya dalam kasus pembelian
reksadana Antaboga. Bank Mutiara berpegang pada hasil putusan Mahkamah Agung
(MA) dalam perkara gugatan Wahyudi Prasetio terhadap PT Bank Century, Tbk yang
kini bernama PT Bank Mutiara, Tbk. "Kami tidak akan membayar sepeserpun
karena mereka bukan nasabah Bank Century, melainkan PT Antaboga Delta Securitas
Indonesia. Tidak perlu menagih-nagih lagi karena tidak akan kami bayar. Kami
pakai dasar kasus di Surabaya, MA memutuskan Bank Mutiara tidak perlu membayar
gugatan nasabah," papar kuasa hukum Bank Mutiara, Mahendradatta, di Kota
Solo, Jawa Tengah, Rabu (28/11/2012). Mahendradatta didampingi Sekretaris Perusahaan
Bank Mutiara Rohan Hafas. Menurut Mahendradatta, pihaknya akan mengajukan
permohonan penundaan eksekusi kepada Pengadilan Negara (PN) Surakarta. Surat
permohonan rencananya akan disampaikan hari Senin pekan depan. Salah satu
nasabah, Sutrisno, yang tergabung dalam Forum Nasabah Bank Century, mengatakan,
pihaknya telah mengajukan sita eksekusi kepada PN Surakarta karena Bank Mutiara
dinilai tidak beritikad baik memenuhi putusan hukum untuk membayar nasabah.
"Soal nasabah Antaboga yang dikatakan bukan nasabah Century itu lagu lama.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Surakarta itu terbantahkan," tutur
Sutrisno.
Kuasa
hukum Forum Nasabah Bank Century Solo, Herkus Wijayadi, mengatakan, upaya
peninjauan kembali tidak menghalangi sita eksekusi, terlebih hanya surat
permohonan penundaan sita eksekusi. "Apa yang terjadi di Surabaya tidak
bisa dijadikan yurisprudensi untuk kasus nasabah di kota lain karena kasusnya
tidak persis sama. Kalau dikatakan ada nasabah yang tanda tangan perjanjian
dengan kop PT Antaboga, di Solo tidak terjadi demikian dan itu sudah terbukti
di pengadilan," ungkap Herkus. Menurut
saya ini merupakan pelanggaran kode etik dalam akuntansi karena terdapat
hak-hak dari nasabah atau konsumen yang tidak terpenuhi. Oleh karena iitu
banyak nasabah yang dirugikan.
Sumber
:
SOLO,
KOMPAS.com
http://inug-nugi.blogspot.com/2012/11/tugas-softskill-contoh-kasus.html
5 Kasus dari Penyimpangan Etika Akuntansi
5 Kasus dari
Penyimpangan Etika Akuntansi
1.
Kasus
Pelanggaran Kode Etik Akuntan :
Beberapa kasus yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia,
salah satunya adalah laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun 2002.Kasus
Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh
Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing berbeda. Laporan
yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau diiklankan melalui
media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002,
dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan publik, dalam hal ini kantor
akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih
dan disampaikan kepada manajemen Bank Lippo pada 6 Januari 2003. Dari ketiga
versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar telah diaudit dan mencantumkan
”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan yang disampaikan pada 6 Januari
2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya penurunan AYDA (agunan yang
diambil alih) sebesar Rp 1,42 triliun, total aktiva Rp 22,8 triliun, rugi
bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23 %. Untuk laporan keuangan
yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata terdapat kelalaian manajemen
dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan tersebut belum diaudit, dimana
angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah AYDA sebesar Rp 2,933 triliun,
aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR
24,77 %. Karena itu BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda kepada jajaran direksi PT
Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar, karena pencantuman kata ”diaudit” dan
”opini wajar tanpa pengecualian” di laporan keuangan 30 September 2002 yang
dipublikasikan pada 28 Nopember 2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar
Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner kantor akuntan publik (KAP)
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan penyampaian informasi
penting mengenai penurunan AYDA Bank Lippo selama 35 hari. Kasus-kasus skandal
diatas menyebabkan profesi akuntan beberapa tahun terakhir telah mengalami
krisis kepercayaan. Hal itu mempertegas perlunya kepekaan profesi akuntan
terhadap etika. Jones, et al. (2003) lebih memilih pendekatan individu terhadap
kepedulian etika yang berbeda dengan pendekatan aturan seperti yang berdasarkan
pada Sarbanes Oxley Act. Mastracchio (2005) menekankan bahwa kepedulian
terhadap etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa
akuntansi masuk di dunia profesi akuntansi.
Analisis : Dari kedua kasus di atas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa dalam profesi akuntan terdapat masalah yang cukup pelik di
mana di satu sisi para akuntan harus menunjukkan independensinya sebagai
auditor dengan menyampaikan hasil audit ke masyarakat secara obyektif, tetapi
di sisi lain mereka dipekerjakan dan dibayar oleh perusahaan yang tentunya
memiliki kepentingan tersendiri.
2. Kasus
KPMG-Siddharta & Harsono :
September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono
harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok
aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan
faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT
Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa
New York. Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang
susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun,
Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya.
Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka
rela kasus ini dan memecat eksekutifnya. Badan
pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya
dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat
perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG
terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus
ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun terselamatan.
Analisis : Pada
kasus tersebut prinsip etika profesi yang dilanggar adalah tanggung jawab
prolesi, dimana seharusnya melakukan pertanggung jawaban sebagai profesional
yang senantiatasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam setiap
kegiatan yang dilakukannya. Selain itu seharusnya tidak melanggar prinsip etika
profesi yang kedua,yaitu kepentingan publik, yaitu dengan cara menghormati
kepercayaan publik. Kemudian tetap memelihara dan meningkatkan kepercayaan
publik sesuai dengan prinsip integritas. Seharusnya tidak melanggar juga
prinsip obyektivitas yaitu dimana setiap anggota harus menjaga
obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
3. Kasus
KAP Andersen dan Enron
Kasus
KAP Andersen dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan
pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu terungkap, terdapat hutang perusahaan
yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan
berkurang dalam jumlah yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP
Andersen mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi
laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana
sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan yang
bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $ 393,
padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $ 644 juta
yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang
didirikan oleh Enron.
Analisis
: Contoh kasus yang terjadi pada KAP Andersen dan Enron adalah sebuah
pelanggaran etika profesi akuntansi dan prinsip etika profesi, yaitu berupa
pelanggaran tanggung jawab –yang salah satunya adalah memelihara kepercayaan
masyarakat terhadap jasa profesional seorang akuntan. Pelanggaran prinsip kedua
yaitu kepentingan publik,pada kasus KAP Andersen dan Enron tersebut kurang
dipegang teguhnya kepercayaan masyarakat, dan tanggung jawab yang tidak
semata-mata hanya untuk kepentingan kliennya tetapi juga menitikberatkan pada
kepentingan public. Jadi seharusnya KAP Andersen dalam melakukan tugasnya
sebagai akuntan harus melakukan tindakan berdasarkan etika profesi akuntansi
dan prinsip etika profesi.
4.
Kasus Sembilan KAP yang diduga
melakukan kolusi dengan kliennya
Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW)
meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang
berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga
telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun
1995-1997. Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis,
mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang
melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak melakukan
pemeriksaan sesuai dengan standar audit. Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan
kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut
termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah
sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H
& R, JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R.
“Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi.
Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk
memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu
kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan
kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak
kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan. ICW menduga,
hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam
penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada
berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan
rekayasa akuntansi. Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak
melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan
laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos
laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami
mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga
menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi
laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini
merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari
Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,”
tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP
tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus
meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode
etik profesi akuntan.
Analisis : Pada kasus tersebut
prinsip etika profesi yang dilanggar adalah tanggung jawab prolesi, dimana
seharusnya melakukan pertanggung jawaban sebagai profesional yang senantiatasa
menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam setiap kegiatan yang
dilakukannya. Selain itu seharusnya tidak melanggar prinsip etika profesi yang
kedua,yaitu kepentingan publik, yaitu dengan cara menghormati kepercayaan
publik. Kemudian tetap memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik sesuai
dengan prinsip integritas. Seharusnya tidak melanggar juga prinsip obyektivitas
yaitu dimana setiap anggota harus
menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan
kewajiban profesionalnya, dan melanggar prinsip kedelapan yaitu standar teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar
teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan
dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan
dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas
dan obyektivitas.
5.
Kasus Bank Mutiara terhadap Nasabah
Bank
Mutiara tidak akan membayar sepeserpun kepada 27 nasabah yang menggugat melalui
Pengadilan Negeri Surakarta ataupun nasabah lainnya dalam kasus pembelian
reksadana Antaboga. Bank Mutiara berpegang pada hasil putusan Mahkamah Agung
(MA) dalam perkara gugatan Wahyudi Prasetio terhadap PT Bank Century, Tbk yang
kini bernama PT Bank Mutiara, Tbk. "Kami tidak akan membayar sepeserpun
karena mereka bukan nasabah Bank Century, melainkan PT Antaboga Delta Securitas
Indonesia. Tidak perlu menagih-nagih lagi karena tidak akan kami bayar. Kami
pakai dasar kasus di Surabaya, MA memutuskan Bank Mutiara tidak perlu membayar
gugatan nasabah," papar kuasa hukum Bank Mutiara, Mahendradatta, di Kota
Solo, Jawa Tengah, Rabu (28/11/2012). Mahendradatta didampingi Sekretaris Perusahaan
Bank Mutiara Rohan Hafas. Menurut Mahendradatta, pihaknya akan mengajukan
permohonan penundaan eksekusi kepada Pengadilan Negara (PN) Surakarta. Surat
permohonan rencananya akan disampaikan hari Senin pekan depan. Salah satu
nasabah, Sutrisno, yang tergabung dalam Forum Nasabah Bank Century, mengatakan,
pihaknya telah mengajukan sita eksekusi kepada PN Surakarta karena Bank Mutiara
dinilai tidak beritikad baik memenuhi putusan hukum untuk membayar nasabah.
"Soal nasabah Antaboga yang dikatakan bukan nasabah Century itu lagu lama.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Surakarta itu terbantahkan," tutur
Sutrisno.
Kuasa
hukum Forum Nasabah Bank Century Solo, Herkus Wijayadi, mengatakan, upaya
peninjauan kembali tidak menghalangi sita eksekusi, terlebih hanya surat
permohonan penundaan sita eksekusi. "Apa yang terjadi di Surabaya tidak
bisa dijadikan yurisprudensi untuk kasus nasabah di kota lain karena kasusnya
tidak persis sama. Kalau dikatakan ada nasabah yang tanda tangan perjanjian
dengan kop PT Antaboga, di Solo tidak terjadi demikian dan itu sudah terbukti
di pengadilan," ungkap Herkus. Menurut
saya ini merupakan pelanggaran kode etik dalam akuntansi karena terdapat
hak-hak dari nasabah atau konsumen yang tidak terpenuhi. Oleh karena iitu
banyak nasabah yang dirugikan.
Sumber
:
SOLO,
KOMPAS.com
http://inug-nugi.blogspot.com/2012/11/tugas-softskill-contoh-kasus.html
Langganan:
Postingan (Atom)